Hero Inside You - Part 1

Rabu, 29 Juni 2016


Marlena saat itu terpogoh-pogoh untuk sembunyi. Jarak tenda pengungsian yang aman sangat jauh. Dengan usia kandungan 9 bulan, Marlena sungguh bersusah payah untuk mengungsi ke pengungsian tersebut. Walau keadaanya begini ia tak pernah menyesal menikahi seorang muslim. Syukurnya tak lama ia berjalan, seorang wanita memaksanya untuk ikut mengungsi dengan mobil yang sudah sesak mengangkut anak dan wanita muslim. Dalam perihnya ia hanya berdoa untuk keselamatan bayinya. Ia berdoa semoga anaknya nanti sama tangguh dan kuat seperti ayahnya yang sedang berjuang untuk membela kaum muslim Bosnia.
Dua puluh tiga kilometer jauhnya, tak terasa sampai sudah ia di pengungsian Srebrenica. Tenda-tenda lusuh sesak dipenuhi keluarga yang sudah kehilangan beberapa anggotanya. Tungku-tungku besar menyala, diatasnya dimasak lauk untuk pengungsi seluruhnya. Posko kesehatan sibuk mengobati korban. Perawat hilir mudik memberi bantuan.
Assalamu’alaikum nyonya, masyaAllah kemari duduk dahulu. Dari mana nyonya berasal? Biar kami pijat dahulu kaki nyonya.” Seorang relawan cantik berpakaian bak suster menyambut Marlena di posko pengungsian. Sepertinya ia sangat iba terhadap Marlena, seorang wanita hamil yang tertatih-tatih menyelamatkan diri. Matanya tulus memancarkan salam perdamaian. Bisik Marlena pada bayinya, “Nak, kau harus lihat bidadari ini nanti.”

“Saya dari desa, Kravica. Desa yang pertama kali diserang Jendral Ratko mladic.”

Alhamdulillah nyonya, nyonya bisa selamat bahkan mampu sampai sini seorang diri”

“Pertolongan Allah” Marlena tersenyum sembari meminum air putih yang perawat suguhkan.

Kepala pengungsian memutar shutter untuk mendapatkan saluran berita yang jernih. Ia memantau perkembangan pergerakan tentara Serbia, takut-takut tentara Serbia berniat menyerang pengungsian secara tiba-tiba. Setelah pemantauan selesai dan dirasa cukup aman, muadzin mengumandangkan adzan dan kepala suku mengimami solat magrib  11 Juli 1995. Sudah 12 jam berlalu sejak penyerangan pertama, para pengungsi berdoa khidmat, termasuk Marlena. Ia menangis tersedu-sedu berharap dapat bertemu lagi dengan ayah dari bayi yang sedang dikandungnya.


***

“Adnan larinya jangan terlalu kencang, kembalikan punyaku,

“Ini punyaaku!” Adnan menoleh sambil tetap berlari.

“Hhem ya itu punyamu tapi ada bagianku juga.. huhh” Nafas Laila tersengal-sengal mengejar Adnan. Susah payah ia berlari dengan tongkat yang sudah melekat seperti kaki kanan aslinya.

“Aku juga tidak mau kalau terus-terusan mengalah wleee, Kejar saja kalau berani!”

“Siapa yang bilang aku tidak berani?!” Laila semakin geram
“Tidak tahu tuh, aku tidak bilang.” Adnan memeluk erat satu bungkus Marshmallownya, tak mau diminta Laila.
“Ugh Adnan pelit!”
“Hahahahaha” Amed dan Hasan tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan konyol Adnan yang tak pernah ingin kalah dan Laila yang tak pernah menyerah.
Disela tawa riangnya mereka, sebenarmya Adnan dan teman-temannya adalah anak-anak yang beruntung lolos dari pembantai ’95. Namun mereka tetap saja anak-anak yang malang. Adnan kehilangan ayahnya, juga ibunya saat ia dilahirkan. Laila lahir secara tidak normal karena ibunya mengalami trauma yang sangat hebat. Ahmed kehilangan kakaknya karena ia ikut bertempur bersama pemuda lainnya dan Hasan, ya Hasan memiliki tubuh dan sanak saudara yang lengkap. Namun, keluarganya jatuh miskin, sangat miskin karena tidak ada harta barharga yang dapat diselamatkan saat pembantaian terjadi. Tapi apapun yang terjadi mereka tetap bahagia karena eratnya persahabatan mengobati luka hati.
Setiap harinya, untuk mengisi waktu, Adnan dan teman-temannya bermain dengan menciptakan alat-alat untuk membantu kenyamanan penyandang disabilitas seperti Laila. Dua belas tahun mereka dikelilingi dengan kampung yang orang-orangnya memiliki cacat juga trauma hebat, Adnan dan teman-temannya berinisiatif untuk menolong sebisa yang mereka bisa. Apalagi Ahmed yang memiliki jiwa sosial yang tinggi yang diturunkan leluhurnya, ia selalu geram setiap melihat saudaranya, tetangganya atau temannya memiliki kecacatan akibat tragedi genosida muslim Bosnia.
Laila sangat senang temannya melakukan hal-hal tersebut, karena biasanya alat-alat yang dibuat teman-temannya dapat memudahkan ia untuk dapat bermain sebagaimana yang lainnya. Adnan yang biasanya menjadi otak dari setiap ide dan Hasan sang teknisi sangat senang apabila Laila sudah mulai memuji hasil karya mereka. Ahmed pun menjadi semangat membujuk teman-teman yang bernasib seperti Laila untuk mencoba alat-alat yang diciptakan teman-temannya.
Hari demi hari mereka tumbuh semakin dewasa. Saat mereka mulai masuk universitas dan berpisah satu sama lain, ternyata waktu tak lagi mampu mempertahankan persahabatan mereka seperti dulu.
***
Bersambung


 
  Musik latar dibuat oleh : @Syifnaditha  

Theme by: Pish and Posh Designs