Marlena
saat itu terpogoh-pogoh untuk sembunyi. Jarak tenda pengungsian yang aman
sangat jauh. Dengan usia kandungan 9 bulan, Marlena sungguh bersusah payah
untuk mengungsi ke pengungsian tersebut. Walau keadaanya begini ia tak pernah
menyesal menikahi seorang muslim. Syukurnya tak lama ia berjalan, seorang
wanita memaksanya untuk ikut mengungsi dengan mobil yang sudah sesak mengangkut
anak dan wanita muslim. Dalam perihnya ia hanya berdoa untuk keselamatan
bayinya. Ia berdoa semoga anaknya nanti sama tangguh dan kuat seperti ayahnya
yang sedang berjuang untuk membela kaum muslim Bosnia.
Dua
puluh tiga kilometer jauhnya, tak terasa sampai sudah ia di pengungsian
Srebrenica. Tenda-tenda lusuh sesak dipenuhi keluarga yang sudah kehilangan
beberapa anggotanya. Tungku-tungku besar menyala, diatasnya dimasak lauk untuk
pengungsi seluruhnya. Posko kesehatan sibuk mengobati korban. Perawat hilir
mudik memberi bantuan.
“Assalamu’alaikum nyonya, masyaAllah kemari duduk dahulu. Dari
mana nyonya berasal? Biar kami pijat dahulu kaki nyonya.” Seorang relawan
cantik berpakaian bak suster menyambut Marlena di posko pengungsian. Sepertinya
ia sangat iba terhadap Marlena, seorang wanita hamil yang tertatih-tatih
menyelamatkan diri. Matanya tulus memancarkan salam perdamaian. Bisik Marlena
pada bayinya, “Nak, kau harus lihat bidadari ini nanti.”
“Saya
dari desa, Kravica. Desa yang pertama kali diserang Jendral Ratko mladic.”
“Alhamdulillah nyonya, nyonya bisa
selamat bahkan mampu sampai sini seorang diri”
“Pertolongan
Allah” Marlena tersenyum sembari meminum air putih yang perawat suguhkan.
Kepala
pengungsian memutar shutter untuk mendapatkan saluran berita yang
jernih. Ia memantau perkembangan pergerakan tentara Serbia, takut-takut tentara
Serbia berniat menyerang pengungsian secara tiba-tiba. Setelah pemantauan
selesai dan dirasa cukup aman, muadzin mengumandangkan adzan dan kepala suku
mengimami solat magrib 11 Juli 1995. Sudah
12 jam berlalu sejak penyerangan pertama, para pengungsi berdoa khidmat,
termasuk Marlena. Ia menangis tersedu-sedu berharap dapat bertemu lagi dengan
ayah dari bayi yang sedang dikandungnya.
“Adnan
larinya jangan terlalu kencang, kembalikan punyaku,
“Ini
punyaaku!” Adnan menoleh sambil tetap berlari.
“Hhem
ya itu punyamu tapi ada bagianku juga.. huhh” Nafas Laila tersengal-sengal
mengejar Adnan. Susah payah ia berlari dengan tongkat yang sudah melekat
seperti kaki kanan aslinya.
“Aku
juga tidak mau kalau terus-terusan mengalah wleee, Kejar saja kalau berani!”
“Siapa
yang bilang aku tidak berani?!” Laila semakin geram
“Tidak
tahu tuh, aku tidak bilang.” Adnan memeluk erat satu bungkus Marshmallownya,
tak mau diminta Laila.
“Ugh
Adnan pelit!”
“Hahahahaha”
Amed dan Hasan tertawa terpingkal-pingkal melihat kelakuan konyol Adnan yang tak
pernah ingin kalah dan Laila yang tak pernah menyerah.
Disela
tawa riangnya mereka, sebenarmya Adnan dan teman-temannya adalah anak-anak yang
beruntung lolos dari pembantai ’95. Namun mereka tetap saja anak-anak yang
malang. Adnan kehilangan ayahnya, juga ibunya saat ia dilahirkan. Laila lahir
secara tidak normal karena ibunya mengalami trauma yang sangat hebat. Ahmed
kehilangan kakaknya karena ia ikut bertempur bersama pemuda lainnya dan Hasan,
ya Hasan memiliki tubuh dan sanak saudara yang lengkap. Namun, keluarganya
jatuh miskin, sangat miskin karena tidak ada harta barharga yang dapat
diselamatkan saat pembantaian terjadi. Tapi apapun yang terjadi mereka tetap
bahagia karena eratnya persahabatan mengobati luka hati.
Setiap
harinya, untuk mengisi waktu, Adnan dan teman-temannya bermain dengan menciptakan
alat-alat untuk membantu kenyamanan penyandang disabilitas seperti Laila. Dua
belas tahun mereka dikelilingi dengan kampung yang orang-orangnya memiliki
cacat juga trauma hebat, Adnan dan teman-temannya berinisiatif untuk menolong
sebisa yang mereka bisa. Apalagi Ahmed yang memiliki jiwa sosial yang tinggi
yang diturunkan leluhurnya, ia selalu geram setiap melihat saudaranya,
tetangganya atau temannya memiliki kecacatan akibat tragedi genosida muslim
Bosnia.
Laila
sangat senang temannya melakukan hal-hal tersebut, karena biasanya alat-alat
yang dibuat teman-temannya dapat memudahkan ia untuk dapat bermain sebagaimana
yang lainnya. Adnan yang biasanya menjadi otak dari setiap ide dan Hasan sang
teknisi sangat senang apabila Laila sudah mulai memuji hasil karya mereka.
Ahmed pun menjadi semangat membujuk teman-teman yang bernasib seperti
Laila untuk mencoba alat-alat yang diciptakan teman-temannya.
Hari
demi hari mereka tumbuh semakin dewasa. Saat mereka mulai masuk universitas dan
berpisah satu sama lain, ternyata waktu tak lagi mampu mempertahankan persahabatan mereka seperti dulu.
***
Bersambung
Musik latar dibuat oleh : @Syifnaditha